Saturday, December 11, 2010

Pola Asuh Anak

POLA ASUH ANAK
Sering Berdasarkan "Warisan" Orangtua

Jumat, 10 Desember 2010
JAKARTA (Suara Karya): Tugas sebagai orangtua dalam mendidik dan membesarkan anak sebenarnya sangat berat dan penuh tantangan. Sebagian orangtua hanya memiliki bekal pengalaman sebagai anak yang dulunya dididik dan dibesarkan orang tuanya dan mengasuh anak-anaknya dengan pola asuh "warisan" tersebut.

"Hal ini mengakibatkan kita memperlakukan anak-anak sebagaimana orangtua memperlakukan kita. Padahal, seharusnya kita memperlakukan anak-anak seperti kita ingin diperlakukan oleh orangtua dulu," kata Master Reiki Indonesia dari Reiki Institut Dr Agus Sutiyono MM, dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, Kamis.

Menurut Agus Sutiyono, orangtua harus mampu mendeteksi kebutuhan anak dan memfasilitasinya, bukan malah membatasi gerak dan perkembangan anak dengan berbagai larangan dan pantangan.

Orangtua terkadang kekurangan informasi dan pengetahuan tentang apa yang sebaiknya dilakukan dalam proses mendidik anak. Hal ini menimbulkan kesalahan karena ketidaktahuan orangtua dalam memberikan rangsangan pada anak agar otaknya berfungsi optimal.

Menurut Agus Sutiyono, ada tiga kesalahan orangtua yang dapat menghambat pembentukan pola perilaku anak. Pertama inkonsistensi. Contoh inkonsistensi ini misalnya, orangtua meminta agar anak-anaknya belajar, sementara orangtua sendiri asik nonton sinetron. "Sebagai orang tua yang dijadikan teladan oleh anak-anak, kita harus berusaha menjaga konsistensi dalam segala hal," katanya.

Kedua, terlalu intervensi. Orang tua kerap memperlakjukan putra-putrinya sebagai anak-anak. Padahal, mereka adalah manusia kecil yang seharusnya sudah mulai diperkenalkan pada persosalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan. "Anak seharusnya sudah mulai diberi arahan untuk bertanggung jawab pada diri sendiri," kata Agus.

Ketiga, membanding-bandingkan. Orangtua kerap mebanding-bandingkan kondisi yang dialami anak-anak dengan apa yang orangtua alami dan rasakan sekarang. Hal ini merupakan bentuk analogi yang tidak relevan karena jaman sekarang tentu berbeda dengan jaman para orangtua dahulu tumbuh dan berkembang.

"Mulailah mengubah sudut pandang dengan berusaha menyelami apa yang anak-anak trasakan dan alami di jaman merekla ini," kata Agus yang belakangan gencar mengembangkan reiki untuk pendidikan anak melalui hypnoparenting. Bahkan dia juga menulis buku khusus hypnoparenting dengan judul Dahsyatnya hypnoparenting. (Singgih BS)
Reiki, Manfaatkan Energi Ilahi

Agus Sutiyono bicara Hypnoparenting (dok Agus Sutiyono)Jakarta, 11 Desember 2010 12:54
Agus Sutiyono menyentuh leher seorang lelaki yang mengeluh sakit kepala berkepanjangan. Setelah meminta lelaki itu menarik napas beberapa kali secara teratur, lalu memejamkan mata, Agus sambil berdo'a mengalirkan energi melalui telapak tangannya ke leher lelaki tadi.

Sejenak kemudian, ia meminta lelaki itu mengucapkan kata-kata afirmasi, bahwa "saya sudah sembuh sekarang." Dan... ketika diminta menggerak-gerakkan lehernya, lelaki itu mengaku sudah tidak lagi menderita sakit kepala. "Kepala terasa enteng," ujar lelaki tadi, seraya berterima kasih pada Agus Sutiyono.

Bukan sulap, bukan sihir. Bukan pula ilmu jin. Ini adalah terapi Reiki, yang sudah dipraktekkan sejak berabad-abad lalu. Kata Reiki sendiri, dalam bahasa Jepang, berarti "energi ilahi" atau "energi alam". Reiki ini memiliki kekuatan dan manfaat besar untuk mengaktifkan potensi dasar manusia menjalankan fungsi kekhalifahan di alam semesta.

"Reiki merupakan keajaiban spiritual yang bisa mengantarkan seseorang memiliki kemampuan istimewa, di antaranya kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit untuk diri sendiri maupun orang lain, serta kekuatan perlindungan agar tetap bugar," kata Agus Sutiyono, 42 tahun, Master Reiki, kepada Gatra.com di Jakarta, belum lama ini.

Terapi Reiki, menurut pendiri Indonesia Reiki Institute ini, merupakan metode penyembuhan penyakit oleh energi ilahi atau alam, dengan media tubuh kita. Energi alam tadi ditangkap tubuh kita dan disalurkan melalui telapak tangan.

"Yang dilakukan para dokter dan praktek pengobatan sesungguhnya hanyalah stimulan bagi proses kesembuhan. Tubuh kita sendirilah yang sebenarnya --melalui mekanisme imunitas tubuh, sel-sel darah putih dan organ-organ tubuh lainnya-- bekerja mengatasi dan menyembuhkan penyakit kita," kata penulis buku Dahsyatnya Hypnoparenting ini.

Agus, yang menolak keras tudingan kalau ilmu ini melibatkan jin, menjelaskan, Reiki dapat dipraktekkan sendiri ataupun dengan bantuan seorang Master Reiki. "Ada 16 tempat di tubuh kita, yang disebut cakra, yang harus disentuh tangan sebagai tempat masuknya energi alam ke dalam tubuh kita. Di antaranya kepala, lengan, leher, punggung, dan lutut," jelas dosen di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, kepada wartawan. Agus sendiri, pada minggu kedua dan keempat setiap bulannya, menjalankan praktek pengobatan melalui Reiki secara gratis bagi masyarakat, di kampus UNJ Rawamangun, Jakarta.

"Efektif tidaknya penyembuhan Reiki, bergantung pada kemampuan kita mengalirkan energi di seluruh tubuh hingga mencapai tahap relaksasi, yaitu menonaktifkan pikiran," tulis Agus, dalam blognya (www.agussutiyono.blogspot.com). Menonaktifkan bukan berarti pikiran kita kosong, melainkan memikirkan hal-hal positif yang kita miliki.

Menurut Sekjen LSM BISA itu, ketika reiki dilakukan pada diri kita sendiri, kita tidak merasakan apa-apa. Namun, saat kita mempraktekkan Reiki terhadap orang lain, tangan seakan ada yang menarik begitu ditempelkan pada bagian tubuh yang mengalami gangguan.

Sedangkan pada orang yang melakukan Reiki, getaran tangan bisa semakin keras. Sebaliknya, orang yang menerima Reiki akan merasakan sensasi seperti rasa hangat yang menjalar.

Manfaat reiki ini, saran Agus, dapat dirasakan bila dilakukan secara rutin setiap hari. "Siapa pun boleh melakukan dan menerima Reiki, termasuk wanita hamil dan anak-anak. Hanya saja, pada orang cacat yang tidak memiliki tangan, reiki harus dibantu orang lain. [TMA]